Jumat, 14 Februari 2014

ALOR

Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Munaseli mengirim lebah ke Abui, sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli. Konon, tengkorak raja Abui yang memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Munaseli dan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya telah kalah perang melawan Abui.

Sekitar awal tahun 1300-an, satu detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli tetapi yang mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli, sedangkan penduduknya telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor dan sekitarnya. Para tentara Majapahit ini akhirnya banyak yang memutuskan untuk menetap di Munaseli, sehingga tidak heran jika saat ini banyak orang Munaseli yang bertampang Jawa. Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (Pantar) dalam buku Negarakartagama karyaMpu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan. Galiau yang terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui dan Bunga Bali di Alor serta Blagar, Pandai dan Baranua di Pantar. Aliansi 5 kerajaan di pesisir pantai ini diyakini memiliki hubungan dekat antara satu dengan lainnya, bahkan raja-raja mereka mengaku memiliki leluhur yang sama.

Pendiri ke 5 kerajaan daerah pantai tersebut adalah 5 putra Mau Wolang dari Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai. Yang tertua di antara mereka memerintah daerah tersebut. Mereka juga memiliki hubungan dagang, bahkan hubungan darah dengan aliansi serupa yang terbentang dari Solor sampai Lembata. Jalur perdagangan yang dibangun tidak hanya di antara mereka tetapi juga sampai ke Sulawesi, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kepulauan kecil di Australia bagian utara adalah milik jalur perdagangan ini. Mungkin karena itulah beberapa waktu lalu sejumlah pemuda dari Alor Pantar melakukan pelayaran ke pulau Pasir di Australia bagian utara. Laporan pertama orang-orang asing tentang Alor bertanggal 8–25 Januari 1522 adalah Pigafetta, seorang penulis bersama awak armada Victoriasempat berlabuh di pantai Pureman, Kecamatan Alor Barat Daya. Ketika itu mereka dalam perjalanan pulang ke Eropasetelah berlayar keliling dunia dan setelah Magelhaen, pemimpin armada Victoria mati terbunuh di Philipina. Pigafetta juga menyebut Galiau dalam buku hariannya. Observasinya yang keliru adalah penduduk pulau Alor memiliki telinga lebar yang dapat dilipat untuk dijadikan bantal sewaktu tidur. Pigafetta jelas telah salah melihat payung tradisional orang Alor yang terbuat dari anyaman daun pandan. Payung ini dipakai untuk melindungi tubuh sewaktu hujan.

Sejarah Keagamaan

Agama Islam

Agama Kristen

Agama Budha

Sebelum masuknya agama-agama besar, penduduk Alor menganut paham animisme dan dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah penganut agama Kristen (Katolik dan Protestan), sementara sisanya adalah pemeluk agama Islam, Budha dan Hindu.

Agama Islam masuk ke Alor melalui desa Gelubala (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar, melalui kehadiran seorang mubaligh dari Kesultanan Ternate bernama Mukhtar Likur pada tahun 1522. Data ini diperkuat oleh catatan seorang anak buah penjelajah dunia Ferdinand Magellan dari Portugal bernama Fegafetta yang singgah di Alor pada tahun 1522 dalam pelayarannya kembali ke Eropa. Dia mencatat bahwa di Kepulauan Alor, tepatnya di Pulau Pantar, mereka telah menemukan suatu komunitas Islam yang tinggal di kampung bernama Maloku, Baranusa. Dari tempat ini Islam mulai menyebar ke arah timur dan masuk ke desa-desa di Alor lainnya seperti Bungabali (sekarang Alor Besar), Alor Kecil, Dulolong dan lainnya.

Pada tahun 1523 tibalah lima orang bersaudara dari Ternate bernama Iang Gogo, Kima Gogo, Karim Gogo, Sulaiman Gogo dan Yunus Gogo disertai seorang mubaligh lainnya bernama Abdullah. Mereka memiliki misi yang sama dengan Mukhtar Likur, yaitu menyebarkan ajaran Islam di kepulauan Alor. Untuk mencapai tujuan ini, mereka berpisah dan menyebar ke berbagai desa di Alor. Iang Gogo menetap di Bungabali (Alor Besar), Kima Gogo di Malua/Kui/Lerabaing, Karim Gogo di Malaga (nama Portugis untuk Nuha Beng atau Ternate Alor), Sulaiman Gogo di Panje (Pandai) – sebuh desa pantai di ujung paling utara Pulau Pantar, sedangkan Yunus Gogo dan Abdullah menetap di Gelubala, Baranusa.

Tiga desa pertama yang memeluk agama Islam berada di Bungabali (Alor Besar/Laffo Beng), Alor Kecil (Laffo Kisu) dan Dulolong. Menurut catatan, cepatnya proses ketiga desa ini memeluk agama Islam adalah karena ketiga desa ini dibangun oleh satu keluarga yang sama, yaitu keturunan dari Sakubala Duli dan istrinya Bui Munangbela. Di Alor Besar Iang Gogo meninggalkan suatu peninggalan bersejarah, yaitu sebuah kitab suci Al Quran yang ditulis tangan. Al Quran ini ditulis di kertas kulit kayu. Saat ini Al Quran tersebut disimpan oleh Saleh Panggo Gogo yang merupakan generasi ke-13 keturunan Iang Gogo.

Agama Kristen pertama kali masuk Alor pada masa administrasi Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman, D.S. William-Bach, tiba dengan kapal Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran agama Kristen dari Pantai Dulolong. Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun 1912, dinamai Gereja Kalabahi (sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Kayu-kayu bangunan gereja ini berasal dari Kalimantan dan menurut catatan dikerjakan oleh para tukang Muslim, bukti dari adanya toleransi antar-umat beragama di Alor sejak dulu.

Dari tahun 1950an hingga tahun 1980an para misionaris Kristen silih berganti datang ke Alor dan bekerja sebagai pendeta, perawat bahkan dokter. Dua diantaranya adalah suami-istri Dr. De Jong yang bekerja di RSUD Kalabahi. Dalam bukunya “Brieven aan Alor” (Surat-surat ke Alor) Dr. De Jong menceritakan pengalamannya selama hidup dan bekerja di Alor. Dokter asal Jerman lainnya, Dr. Kleven, bahkan memberi nama lokal Alor, Loni, untuk putrinya.

Agama Budha pertama kali masuk ke Alor melalui para pedagang Tionghoa. Orang Tionghoa pertama yang menjejakkan kakinya di bumi Alor adalah Ong Keng Tjau atau lebih dikenal dengan julukan OKT. Ia tiba di Alor pada tahun 1908 dari kota Fuzhou, propinsi Fujian, Tiongkok, dan menetap di Alor Kecil untuk memuali usaha hasil bumi. Dengan berpindahnya pusat pemerintahan, kegiatan perniagaan OKT juga dipindahkan ke Kalabahi pada tahun 1911.

Komunitas Tionghoa yang dibentuk oleh OKT dengan cepat membaur dengan komunitas lokal. OKT sendiri sempat menikahi wanita lokal bernama Ina Lipu yang beragama Islam. Penyebaran ajaran agama Budha di Alor pun lebih bersifat internal, yaitu hanya berkembang di kalangan warga Tionghoa dan keturunannya saja

1 komentar: