Rabu, 20 Mei 2015

ASAL MULA GUNUNGKIDUL

Adalah kisah di balik pembukaan hutan Wonosari atas perintah Raden Tumenggung Prawirosetiko, Bupati Gunungkidul ke-2. Pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara dan Kalasan untuk kawasan timur. Gunungkidul di bawah administrasi kawasan timur yang berpusat di Kalasan. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan.
Sultan Hamengku Buwono V di Yogyakarta kemudian mengangkat Raden Tumenggung Prawirosetiko sebagai Adipati Gunungkidul, menggantikan KRT Poncodirjo, sekaligus meminta untuk mengatur wilayah Gunungkidul, khususnya memindahkan kabupaten ke lokasi yang lebih dekat dengan Yogyakarta, tetapi juga dekat dengan semua kawula di Gunungkidul. Maka dipilihkan Alas Nongko Doyong yang daerahnya datar, sumber airnya banyak, tanahnya subur serta berada di lokasi yang strategis.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, Raden Tumenggung Prawirosetiko mengundang seluruh panji, demang, rangga, ranupati sekadipaten untuk bermusyawarah. Salah satunya adalah Panji Harjodipuro yang berasal dari Semanu. Kemudian Raden Tumenggung Prawirosetiko memerintahkan kepada sang panji untuk mengerjakan tugas mulia tersebut bersama anak buah kepercayaannya seorang demang dari Piyaman bernama Ki Demang Wonopawiro yang muda, gagah, pemberani dan masih bujangan. Proses pembukaan hutan pun terlaksana dengan sukses dan segeralah dilakukan pembangunan pendapa, bangsal-bangsal dan bangunan-bangunan untuk para pangreh praja. Setelah selesai kemudian Kadipaten Gunungkidul pun pindah ke Alas Nongko Doyong yang kemudian diganti nama menjadi Wonosari oleh Raden Tumenggung Prawirosetiko.
Di balik pelaksanaan tugas tersebut, terjadi kisah cinta, heroisme dan mistik. Alkisah, Panji Hardjodipuro mempunyai seorang putri bernama Roro Sudarmi. Selaku pelaksana pemerintahan, Panji Harjodipuro memanggil Demang Wonopawiro di Piyaman menghadap. Demang Wonopawiro adalah seorang keturunan Majapahit yang sakti, patuh, dan bakti pada atasan. Harjodipuro menugaskan Demang Wonopawiro untuk menjadi pelaksana proyek membuka Alas Nongko Doyong.
Demang Wonopawiro melihat Roro Sudarmi dan jatuh hati.
Mbok Nitisari adalah seorang dukun, orang pintar, yang sakti. Demang Wonopawiro pulang ke Piyaman meminta pertimbangan Mbok Nitisari tentang tugas yang diperintahkan oleh Panji Harjodipuro untuk membuka Hutan Nongko Doyong yang terkenal gawat keliwat-liwat angker kepati-pati. Mbok Nitisari setuju dan bersedia membantu tugas berat itu. Mbok Nitisari memerintahkan Demang Wonopawiro untuk membuat sesaji. Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari pergi ke Alas Nongko Doyong yang terkenal jalma mara jalma mati, angker karena dikuasai Nyi Gadung Mlati, demit penguasa Alas Nongko Doyong. Mbok Nitisari meminta kepada Nyi Gadung Mlati agar Alas Nongko Doyong boleh dibuka. Nyai Gadung Mlati tidak mengijinkan. Terjadi pertempuran antara demit Nyi Gadung Mlati dan Mbok Nitisari. Nyi Gadung Mlati kalah. Nyi Gadung Mlati mengijinkan pembukaan hutan dengan syarat diberi sesajian tiap tahun dan Nyi Gadung Mlati dibiarkan hidup sebagai penjaga.
Pembukaan hutan dilakukan. Demang Wonopawiro mengerahkan rakyat Piyaman untuk membantu membuka hutan. Nyi Gadung Mlati membantu secara spiritual. Melihat keberhasilan Demang Wonopawiro ini, Ronggo Puspowilogo, seorang demang dari Seneng, daerah Siraman, menjadi iri karena dia berharap pada mulanya dialah yang diberi tugas oleh Panji Harjodipuro untuk membuka hutan. Ibu kota mulai dibangun. Pasar didirikan di daerah Seneng.
Roro Sudarmi pergi ke Pasar Seneng ditemani oleh pembantunya. Roro Sudarmi pergi tanpa ijin. Raden Puspoyudo, putra Ronggo Puspowilogo, menggodanya. Roro Sudarmi menolak. Puspoyudo jatuh hati kepada Roro Sudarmi. Roro Sudarmi melarikan diri ke Piyaman. Puspoyudo meminta ayahnya, Ronggo Puspowilogo untuk melamarkan Roro Sudarmi. Roro Sudarmi datang ke tempat Mbok Nitisari yang kebetulan masih saudara ayahnya. Roro Sudarmi menceritakan peristiwa yang terjadi di Pasar Seneng. Roro Sudarmi beserta pembantunya diantar pulang oleh Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari ke Semanu.
Panji Harjodipuro menerima tamu Ronggo Puspowilogo yang melamarkan Roro Sudarmi untuk anaknya. Lamaran Ronggo Puspowilogo belum dijawab dengan alasan banyak yang melamar Roro Sudarmi. Banyak pria yang berkenan ingin melamar Roro Sudarmi. Alkisah, pada waktu itu Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari datang mengantarkan Roro Sudarmi yang sekaligus bermaksud pula untuk melamar Roro Sudarmi. Untuk menyelesaikan masalah ini, Panji Harjodipuro mengadakan sayembara memanah babal (buah nangka yang masih muda) untuk mencarikan jodoh bagi Roro Sudarmi. Tak luput, Demang Wonopawiro dan Ronggo Puspoyudo mengikuti sayembara itu. Demang Wonopawiro memenangkan sayembara. Demang Wonopawiro memperistri Roro Sudarmi.
Ronggo Puspowilogo marah dan menggalang pasukan hingga sampai Bantul untuk membunuh Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro kemudian juga memperkuat pasukan 4 bregodo, yang terdiri dari pasukan timur, tengah, selatan dan utara. Semua pasukan dikerahkan untuk mengepung pasukan Demang Puspowilogo yang masuk ke desa-desa. Pasukan utara yang paling jauh berhenti di sebuah kampung, yang diberi nama Desa Ngalang yang artinya memutar karena tempat pemberhentian tersebut dirasa terlalu berputar-putar dan sangat jauh. Keempat bregada pasukan bertemu di sebuah desa yang kemudian diberi nama Pathuk, artinya kepethuk atau bertemu.
Pertempuran terjadi di dekat Alas Nongko Doyong yang telah dibuka. Puspowilogo dan panji dari Bantul duel melawan Demang Wonopawiro. Untuk itu, Demang Wonopawiro diberi bekal tombak Kyai Muntab oleh Mbok Nitisari. Ronggo Puspowilogo dan seorang panji dari Bantul tewas ditombak Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro diberi hadiah oleh sultan dan dijadikan penasehat para demang. Panji Harjodipuro yang masih keturunan dari Prabu Brawijaya V, kemudian dinaikkan pangkatnya dari panji menjadi rangga, semacam asisten pemerintahan. Kisah Babad Alas Nongko Doyong sering dipentaskan dalam kethoprak.

Jumat, 31 Oktober 2014

SUNDA


SUKU SUNDA

SEJARAH SINGKAT SUKU SUNDA
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610­) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Suku Sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indeonesia. Yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.


DESKRIPSI LOKASI

Secara cultural daerah Pasundan di daerah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatassan bahasa. Wilayah ini sendiri memiliki luas 55.390 km² serta terdiri atas 20 kabupaten. Tanah Pasundan ini dikenal karena iklimnya yang sejuk dan keindahan panoramanya. Berada di daerah dataran tinggi dengan curah hujan tinggi sehingga kesuburan tanahnya tidak diragukan lagi. Pada tahu 1998, suku Sunda berjumlah kurang lebih 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sundan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedia. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese.

UNSUR-UNSUR BUDAYA

1. BAHASA
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain yaitu :
1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani.
2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya.
3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah.
Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.

2. RELIGI
Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama kristen, Hindu, Budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan gaib. Terdapat juga adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lainnya.

3. TEKNOLOGI
Hasil-hasil teknologi terkini sangat mudah didapatkan seperti alat-alat yang digunakan untuk pertanian yang dasa jaman dulu masih menggunakan alat-alat tradisional, kini sekarang telah berubah menggunakan alat-alat modern, seperti traktor dan mesin penggiling padi. Disamping itu juga sudah terdapat alat-alat telekomunikasi dan barang elektronik modern.

4. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah
1. Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.
2. Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
3. Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak.

5. ORGANISASI SOSIAL
Sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belh phak orang tua. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, pengantin baru bisa tinggal ditempat kediaman istri atau suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal. Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilh tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu :
Tujuh generasi keatas :
Kolot
Embah
Buyut
Bao
Janggawareng
Udeg-udeg
Gantung siwur

Tujuh generasi kebawah :
Anak
Incu
Buyut
Bao
Janggawareng
Udeg-udeg
Gantung siwur


6. SISTEM PENGETAHUAN
Fasilitas yang cukup memadai dalam bidang pengetahuan maupun informasi memudahkan masyarakat dalam memilih institusi pendidikan yang akan mereka masuki dalam berbagai jenjang. Seperti pada permulaan masa kemerdekaa di Jawa Barat terdapat 358.000 murid sekolah dasar, kemudian pada tahun 1965 bertambah menjadi 2.306.164 murid sekolah dasar. Jadi berarti mengalami kenaikan sebanyak 544%. Pada saat ini pada era ke- 20 disetiap ibukota kabupaten telah tersedia universitas-universitas, fakultas-fakultas, dan cabang-cabang universitas.

7. KESENIAN
Masyarakat Sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat berbagai jenis kesenian, diantaranya seperti :
1. Seni tari : tari topeng, tari merak, tari sisingaan dan tari jaipong.
2. Seni suara dan musik : Degung (semacam orkestra) : menggunakan gendang, gong, saron, kecapi, dll. Salah satu lagu daerah Sunda antara lain yaitu Bubuy bulan, Es lilin, Manuk dadali, Tokecang dan Warung pojok.
3. Wayang golek
4. Senjata tradisional yaitu kujang


Jumat, 14 Februari 2014

ALOR

Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Munaseli mengirim lebah ke Abui, sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli. Konon, tengkorak raja Abui yang memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Munaseli dan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya telah kalah perang melawan Abui.

Sekitar awal tahun 1300-an, satu detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli tetapi yang mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli, sedangkan penduduknya telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor dan sekitarnya. Para tentara Majapahit ini akhirnya banyak yang memutuskan untuk menetap di Munaseli, sehingga tidak heran jika saat ini banyak orang Munaseli yang bertampang Jawa. Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (Pantar) dalam buku Negarakartagama karyaMpu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan. Galiau yang terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui dan Bunga Bali di Alor serta Blagar, Pandai dan Baranua di Pantar. Aliansi 5 kerajaan di pesisir pantai ini diyakini memiliki hubungan dekat antara satu dengan lainnya, bahkan raja-raja mereka mengaku memiliki leluhur yang sama.

Pendiri ke 5 kerajaan daerah pantai tersebut adalah 5 putra Mau Wolang dari Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai. Yang tertua di antara mereka memerintah daerah tersebut. Mereka juga memiliki hubungan dagang, bahkan hubungan darah dengan aliansi serupa yang terbentang dari Solor sampai Lembata. Jalur perdagangan yang dibangun tidak hanya di antara mereka tetapi juga sampai ke Sulawesi, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kepulauan kecil di Australia bagian utara adalah milik jalur perdagangan ini. Mungkin karena itulah beberapa waktu lalu sejumlah pemuda dari Alor Pantar melakukan pelayaran ke pulau Pasir di Australia bagian utara. Laporan pertama orang-orang asing tentang Alor bertanggal 8–25 Januari 1522 adalah Pigafetta, seorang penulis bersama awak armada Victoriasempat berlabuh di pantai Pureman, Kecamatan Alor Barat Daya. Ketika itu mereka dalam perjalanan pulang ke Eropasetelah berlayar keliling dunia dan setelah Magelhaen, pemimpin armada Victoria mati terbunuh di Philipina. Pigafetta juga menyebut Galiau dalam buku hariannya. Observasinya yang keliru adalah penduduk pulau Alor memiliki telinga lebar yang dapat dilipat untuk dijadikan bantal sewaktu tidur. Pigafetta jelas telah salah melihat payung tradisional orang Alor yang terbuat dari anyaman daun pandan. Payung ini dipakai untuk melindungi tubuh sewaktu hujan.

Sejarah Keagamaan

Agama Islam

Agama Kristen

Agama Budha

Sebelum masuknya agama-agama besar, penduduk Alor menganut paham animisme dan dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai (Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas penduduk Alor adalah penganut agama Kristen (Katolik dan Protestan), sementara sisanya adalah pemeluk agama Islam, Budha dan Hindu.

Agama Islam masuk ke Alor melalui desa Gelubala (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar, melalui kehadiran seorang mubaligh dari Kesultanan Ternate bernama Mukhtar Likur pada tahun 1522. Data ini diperkuat oleh catatan seorang anak buah penjelajah dunia Ferdinand Magellan dari Portugal bernama Fegafetta yang singgah di Alor pada tahun 1522 dalam pelayarannya kembali ke Eropa. Dia mencatat bahwa di Kepulauan Alor, tepatnya di Pulau Pantar, mereka telah menemukan suatu komunitas Islam yang tinggal di kampung bernama Maloku, Baranusa. Dari tempat ini Islam mulai menyebar ke arah timur dan masuk ke desa-desa di Alor lainnya seperti Bungabali (sekarang Alor Besar), Alor Kecil, Dulolong dan lainnya.

Pada tahun 1523 tibalah lima orang bersaudara dari Ternate bernama Iang Gogo, Kima Gogo, Karim Gogo, Sulaiman Gogo dan Yunus Gogo disertai seorang mubaligh lainnya bernama Abdullah. Mereka memiliki misi yang sama dengan Mukhtar Likur, yaitu menyebarkan ajaran Islam di kepulauan Alor. Untuk mencapai tujuan ini, mereka berpisah dan menyebar ke berbagai desa di Alor. Iang Gogo menetap di Bungabali (Alor Besar), Kima Gogo di Malua/Kui/Lerabaing, Karim Gogo di Malaga (nama Portugis untuk Nuha Beng atau Ternate Alor), Sulaiman Gogo di Panje (Pandai) – sebuh desa pantai di ujung paling utara Pulau Pantar, sedangkan Yunus Gogo dan Abdullah menetap di Gelubala, Baranusa.

Tiga desa pertama yang memeluk agama Islam berada di Bungabali (Alor Besar/Laffo Beng), Alor Kecil (Laffo Kisu) dan Dulolong. Menurut catatan, cepatnya proses ketiga desa ini memeluk agama Islam adalah karena ketiga desa ini dibangun oleh satu keluarga yang sama, yaitu keturunan dari Sakubala Duli dan istrinya Bui Munangbela. Di Alor Besar Iang Gogo meninggalkan suatu peninggalan bersejarah, yaitu sebuah kitab suci Al Quran yang ditulis tangan. Al Quran ini ditulis di kertas kulit kayu. Saat ini Al Quran tersebut disimpan oleh Saleh Panggo Gogo yang merupakan generasi ke-13 keturunan Iang Gogo.

Agama Kristen pertama kali masuk Alor pada masa administrasi Controleur Bouman pada tahun 1908 ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman, D.S. William-Bach, tiba dengan kapal Canokus dan kemudian kegiatan penyebaran agama Kristen dari Pantai Dulolong. Gereja pertama di Alor dibangun pada tahun 1912, dinamai Gereja Kalabahi (sekarang dikenal sebagai Gereja Pola). Kayu-kayu bangunan gereja ini berasal dari Kalimantan dan menurut catatan dikerjakan oleh para tukang Muslim, bukti dari adanya toleransi antar-umat beragama di Alor sejak dulu.

Dari tahun 1950an hingga tahun 1980an para misionaris Kristen silih berganti datang ke Alor dan bekerja sebagai pendeta, perawat bahkan dokter. Dua diantaranya adalah suami-istri Dr. De Jong yang bekerja di RSUD Kalabahi. Dalam bukunya “Brieven aan Alor” (Surat-surat ke Alor) Dr. De Jong menceritakan pengalamannya selama hidup dan bekerja di Alor. Dokter asal Jerman lainnya, Dr. Kleven, bahkan memberi nama lokal Alor, Loni, untuk putrinya.

Agama Budha pertama kali masuk ke Alor melalui para pedagang Tionghoa. Orang Tionghoa pertama yang menjejakkan kakinya di bumi Alor adalah Ong Keng Tjau atau lebih dikenal dengan julukan OKT. Ia tiba di Alor pada tahun 1908 dari kota Fuzhou, propinsi Fujian, Tiongkok, dan menetap di Alor Kecil untuk memuali usaha hasil bumi. Dengan berpindahnya pusat pemerintahan, kegiatan perniagaan OKT juga dipindahkan ke Kalabahi pada tahun 1911.

Komunitas Tionghoa yang dibentuk oleh OKT dengan cepat membaur dengan komunitas lokal. OKT sendiri sempat menikahi wanita lokal bernama Ina Lipu yang beragama Islam. Penyebaran ajaran agama Budha di Alor pun lebih bersifat internal, yaitu hanya berkembang di kalangan warga Tionghoa dan keturunannya saja

SUKU ALAS (ACEH TENGGARA)

Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh terdapat 11 sukubangsa, yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Singkel, Aneuk Jamee, Kuet, Pulau, Jawa, Batak, dan Campuran Aceh dan Aneuk Jamee. Dari sebelas suku bangsa ini, Jawa dan Batak adalah suku pendatang. Suku bangsa Pulau lebih dikenal dan resmi disebut "orang Pulo Banyak" yang berdomisili di Pulau-pulau Banyak.

Dari ke-sebelas suku bangsa yang berada di Aceh, Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kab. Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dan biasa disebut Tanah Alas. Kata "alas" dalam bahasa Aceh, Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Lawe Alas (Sungai Alas) adalah salah satu di antara banyak sungai yang lalui daerah Tanah Alas. Dengan karakter alam yang demikian, bisa dipastikan bahwa daerah tersebut sangatlah subur.

Berdasarkan sejarah, hubungan antara suku Alas dan Batak telah terjalin ratusan tahun yang lalu. Harahap (1958:36) menulis bahwa menurut tambo keturunan Siraja Batak, dari Samosir berserak orang Batak ke pelosok Tanah Batak, yaitu: orang Gayo, Alas, Karo, dan Simalungun ke utara danau itu. Jaman dahulu kala, diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian.

Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).

Namun Siahaan (1964:113) berkesimpulan bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan kesadaran tergolong suku Batak semakin menipis. Suku Alas dan Gayo tidak bersedia menyebut dirinya Batak. Tetapi penyelidikan tentang sistem marga, hukum adat, dan bahasa dapat memberi kesimpulan bahwa banyak ciri yang sama antara ketiga suku itu, terutama antara suku Alas dengan Batak.

Dari segi kebahasaan, Suku Alas memliki struktur bahasa dan kosa kata yang hampir sama dengan bahasa-bahasa di Batak, yaitu Tapanuli Selatan (atau Mandailing dan Angkola), Toba, Dairi, Simalungun, dan Karo, tetapi bahasa Alas tidak memiliki aksara sebagaimana dimiliki oleh suku-suku Batak. Hal ini terjadi karena kefanatikan suku Alas terhadap agama Islam, berakibatkan penulisan bahasa mereka dengan aksara Arab, atau lebih dikenal dengan huruf Jawi, bukan aksara Batak.

Dari sudut pandang pemukiman, desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Adapun merge atau marga–marga dari suku Alas yaitu: Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Terigan.

Aceh Tenggara, yang memiliki panorama alam dan keragaman etnis tersebut membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Saling mendukung dan bertoleran. Tidak pernah mengenal persinggungan di antara mereka. (toleransi dalam kehidupan bersuku bangsa)

http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1068/suku-alas